Sabtu, 30 Oktober 2010

ART HISTORY RESOURCES ON THE WEB

  • Prehistoric Art
  • Ancient Near East
  • Ancient Egyptian Art
  • Ancient Greek Art
  • Ancient Roman Art
  • Art in Late Antiquity
  • Art in Early Europe
  • Islamic Art
  • Early Medieval Art
  • Gothic Art
  • Renaissance Art in Italy
  • Renaissance Art Outside Italy
  • Baroque Art
  • 18th-Century Art
  • 19th-Century Art
  • 20th-Century Art
  • CONTEMPORARY ART
  • Chinese Art
  • Japanese Art
  • Art of India
  • Art in Southeast Asia
  • Art in Africa
  • Art of the Americas
  • Art of Pacific Cultures
  • Museums & Galleries
  • Prints & Photographs
  • Research Resources
  • Various & Miscellaneous
  • The Saatchi Gallery - Contemporary Art in London
    Franz Ackermann
    Jonathan Allen
    Ellen Altfest
    Kai Althoff
    Artists Anonymous
    Kristin Baker
    Anna Barriball
    Hernan Bas
    David Batchelor
    Michael Bauer
    Tilo Baumgartel
    Whitney Bedford
    Simon Bedwell
    Huma Bhabha
    Lynette Yiadom Boakye
    Mark Bradford
    Dan Brady
    Cris Brodahl
    Pablo Bronstein
    Cecily Brown
    Jonas Burgert
    Tom Burr
    Carter
    Maurizio Cattelan
    Mathew Cerletty
    Anne Chu
    Dan Colen
    Andy Collins
    Mat Collishaw
    Quentin Curry
    Adam Cvijanovic
    Dexter Dalwood
    Enrico David
    Jay Davis
    Peter Davies
    Jules de Balincourt
    Berlinde de Bruyckere
    Peter Doig
    Angela Dufresne
    Marlene Dumas
    Jimmie Durham
    Tracey Emin
    JH Engstrom
    Inka Essenhigh
    Dick Evans
    Bart Exposito
    Brian Fahlstrom
    Dee Ferris
    Eric Freeman
    Michael Fullerton
    Barnaby Furnas
    Isa Genzken
    Till Gerhard
    Jaime Gili
    Luis Gispert
    Felix Gmelin
    Joanne Greenbaum
    Brian Griffiths
    Mark Grotjahn
    Angelina Gualdoni
    Marc Handelman
    Duane Hanson
    Anne Hardy
    David Harrison
    Rachel Harrison
    Marcus Harvey
    Eberhard Havekost
    Jeppe Hein
    Thomas Helbig
    Sophie von Hellermann
    Lothar Hempel
    Daniel Hesidence
    Christian Holstad
    Tom Hunter
    Matthew Day Jackson
    Jörg Immendorff
    Chantal Joffe
    Idris Khan
    Ian Kiaer
    Martin Kippenberger
    Thoralf Knobloch
    Terence Koh
    Douglas Kolk
    John Korner
    Stefan Kürten
    Dr Lakra
    Ulrich Lamsfuß
    Andrea Lehmann
    Tim Lokiec
    Goshka Macuga
    Martin Maloney
    Alisa Margolis
    Tom McGrath
    Lucy McKenzie
    Rodney McMillian
    Josephine Meckseper
    Jonathan Meese
    Robert Melee
    Jin Meyerson
    Alan Michael
    Boris Mikhailov
    Aleksandra Mir
    Matthew Monahan
    Ian Monroe
    Yasumasa Morimura
    Muntean and Rosenblum
    Wangechi Mutu
    Ivan Navarro
    Elizabeth Neal
    Elizabeth Neel
    Carsten Nicolai
    Hermann Nitsch
    Noble and Webster
    Albert Oehlen
    Kaz Oshiro
    Peter Peri
    Grayson Perry
    Michael Phelan
    Olivia Plender
    Julius Popp
    Jon Pylypchuk
    Ged Quinn
    Tal R
    Michael Raedecker
    David Ratcliff
    Paula Rego
    Anselm Reyle
    Daniel Richter
    Kirstine Roepstorff
    Ruth Root
    Julian Rosefeldt
    Eva Rothschild
    Christoph Ruckhäberle
    David Salle
    Wilhelm Sasnal
    Jenny Saville
    Thomas Scheibitz
    Christoph Schmidberger
    Gregor Schneider
    Lara Schnitger
    Maaike Schoorel
    Dana Schutz
    Conrad Shawcross
    Jamie Shovlin
    Amy Sillman
    Roberta Silva
    Lucy Skaer
    Dirk Skreber
    Josh Smith
    John Sonsini
    Aaron Spangler
    Hannah Starkey
    Martina Steckholzer
    Jessica Stockholder
    Tim Stoner
    Eva Struble
    Ena Swansea
    Erick Swenson
    Yuken Teruya
    David Thorpe
    Ryan Trecartin
    Luc Tuymans
    Nobuko Tsuchiya
    Francis Upritchard
    Donald Urquhart
    Banks Violette
    Kelley Walker
    Dan Walsh
    Rebecca Warren
    Matthias Weischer
    Andro Wekua
    Johannes Wohnseifer
    Saskia Olde Wolbers
    Thomas Zipp
  • ISLAMIC ART
    Top of page
    MUSEUMS, CENTERS, INSTITUTES
    Top of page

    Jumat, 03 September 2010

    WACANA PAMERAN SENI RUPA BINALLE SOLO : KETIDAK KEMUNGKINAN ATAU KENISCAYAAN FAJAR SUTARDI


    Pra Wacana

    Pembicaraan yang mengarah pada wacana Binalle Seni Rupa Solo digulirkan oleh kalangan perupa muda di Solo seperti teman-teman Sanggar Kamar WC, beberapa anggota Komunitas Pintu Mati, teman-teman ISI Solo dan FKIP Seni Rupa yang dilakukan dalam diskusi-diskusi tidak resmi pada waktu dan tempat berbeda, sempat menggelitik pikiran saya. Kalau kita mau menerawang jauh ke masa lalu sebenarnya kegelisahan para perupa muda, tentang kemungkinan diadakannya Binalle Seni Rupa di Solo tadi cukup beralasan. Pertama,ternyata bahwa disadari atau tidak Solo secara histories merupakan kota yang pernah melahirkan “dinamika dan spirit kompetisi” dan pemikiran kemungkinan-kemungkinan untuk itu. Lewat SIM ( Seniman Indonesia Muda ), misalnya beberapa perupa muda waktu itu seperti S.Sudjojono, Basuki Resobowo, Trubus, Surono, Dullah, Sudibyo, Sudjana Kerton, Moh.Sahid, Suromo, Sasongko pada tahun 1947-an telah melakukan pembacaan wacana-wacana kompetisi seni rupa dengan cara yang sederhana, yaitu dengan menampilkan karya-karya mereka melalui majalah seni SENIMAN yang bermarkas di Pasar Pon Solo. Kedua, gejala eksodus atau hijrahnya perupa-perupa muda Solo tahun tujuh puluhan ke Jakarta, sebenarnya kalau dipikir-pikir dengan wacana sekarang, merupakan “hijrah kompetisi” untuk secara pribadi-pribadi mencari ruang cakrawala terbuka dengan atmosfir dan semangat yang berbeda dengan di Solo,wong Solo yang berangkat ke kota metropolitan merupakan sebuah keberanian dan tekad yang luar biasa, seperti hijrahnya Sri Warso Wahono, Jeihan Suksmantoro, S.Wakidjan, Mulyadi.W. dengan resiko dan keuntungan sendiri-sendiri pula, dari sisi ini mereka termasuk cukup cerdas. Ketiga, setelah aktivitas di Sasono Mulyo tidak berjalan sebagaimana mestinya dan tidak berdarah kegiatannya, karena ditinggalkan para aktivis perupanya – maka atas “perjuangan” pak Ndon, di penghujung tahun 80-an Solo berdiri space, ruang yang representative dan megah, yaitu sebuah Taman Budaya yang disana para perupa seakan menemukan “oase” kegelisahan dan dinamika tersebut. Dan dengan kehadiran “ruang seni untuk umum yang gres tersebut”, maka beberapa nama perupa Solo atau yang mewakili Solo, baik dari kampus atau personal akhirnya sempat ikut serta diundang Binnale di TIM mulai tahun 1974 sampai dengan tahun 1996 antara lain Sri Warso Wahono, Putut H.Pramono, AS Budiono, Suatmadji dan Bonyong Munni Ardhie, Anang Ismail Syaronie, Narsen Afatara, Reyot Hartoto,Rusmadi, Winardie, Suharman MS, I.Gusti Nengah Nurata. Keempat, gesekan dan dinamika kegiatan seni rupa diluar Solo,seperti Binalle Jogja, Binalle Bali, Binalle Jawa Timur cukup ramai dibicarakan orang, sehingga menggelisahkan pikiran-pikiran mereka, mungkin mereka juga melihat kenyataan yang ada di Solo. Solo memiliki jargon “the spirit of Java”, Solo kota budaya, Solo di lingkari kampus-kampus seni; UNS, ISI, SMKI, SMSR, ASDI tetapi kenapa Solo bengong dan diam saja. Mereka cuma bertanya, mengapa Solo adem ayem.

    Mengacu dari catatan sejarah dari empat “spirit kompetisi” hal diatas, tulisan ini mencoba untuk berkhidmat – tentang perlu, sangat perlu atau tidaknya Solo ikut-ikutan ber Binnale Ria, seperti kota-kota besar lain seperti Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Surabaya dan sebagainya, seperti yang dilemparkan teman-teman perupa muda diatas.

    Binalle. Binalle. Apakah Binalle Seni Rupa?

    Shearer West ( 1996 ) dalam buku Guide to Art, terbitan Bloomsbury, London, disebutkan, bahwa pada mulanya Binalle bertujuan sebagai ajang pameran seni rupa internasional, yang di selenggarakan setiap dua tahunan, dihimpun dan dinilai oleh sekelompok juri tingkat internasional. Beberapa penyelenggaraan Binalle Internasional yang dianggap sukses adalah seperti Binalle Documenta di Jerman, Sao Paulo Binalle di Brazil, Binalle de la Havana di Cuba, Venice Binalle di Italia, Osaka Trienalle di Jepang, Asia Pacific Trienalle di Australia, Transmediale Binalle di Berlin dan sebagainya.

    Keberhasilan penyelenggaraan Binalle Internasional inilah, akhirnya menjalari gagasan serupa dibeberapa kota besar dunia, termasuk Jakarta. Peristiwa Binalle Seni Rupa di Jakarta, yang pertama digelar pada tahun 1974. Pada waktu itu, perhelatan besar seni rupa berlabel dengan nama Pameran Besar Seni Rupa Indonesia. Dengan kekuatan, spekulasi dan semangat yang makantar-kantar. Pameran Besar itu ditangani dan diselenggarakan oleh Komite Seni Rupa Dewan Kesenian Jakarta. Pameran Besar Seni Lukis Indonesia yang baru pertama kali diadakan dalam skala nasional, terbilang sukses. Mulai tahun 1982 istilah Pameran Besar Seni Rupa Indonesia, diganti menjadi Binalle Seni Lukis Jakarta. Binalle Seni Lukis ini, menjadi ajang bergengsi bagi para perupa diseluruh Indonesia. Binalle ini juga berfungsi sebagai lembaga yang bertugas untuk mengevaluasi perkembangan dan penilaian seni lukis ( rupa ) di Indonesia, secara kewilayahan geografis, dan pengelompokan domisili perupa ( Jakarta, Bandung, Jogjakarta, Surakarta, Surabaya, Ujung Pandang, Medan dan kota-kota besar lainnya.

    Sejak tahun 1985 penyelenggaraan Binalle Seni Lukis Jakarta, panitia mengembangkan gagasan menarik, antara lain keikutsertaan peserta Binalle,tidak mendasarkan dengan menggunakan istilah kewilayahan atau kepemukiman, tetapi mendasarkan atas kesenioritasan dan keyunioritasan dengan batasan perupa senior adalah telah mencapai diatas 35 tahun, sementara yunioritas berumur dibawah 35 tahun. Pada tahun 1987 Binalle diperluas lagi dengan konsep, bahwa keikutsertaan para perupa tidak dibatasi kewilayahan, kepemukiman dan kesenioran ataupun keyunioran. Artinya, peserta binalle di tuntut dari segi kualitas atau bobot karya yang ditampilkan setelah di seleksi ketat oleh panitia ( curator ). Saking ketatnya, pernah penyelenggaraan Binalle Seni Lukis ini, hanya diikuti 26 peserta. Inilah yang dipertanyakan Sanento Yuliman, kritikus besar seni rupa kita. Bahkan, peristiwa Binalle Besar itu dikritisi oleh Sanento dengan istilah Binalle Mini. Disebut Binalle Mini karena terkesan hanya pameran biasa, tidak istimewa, tidak ada kejutan dari ketegangan kreatif dalam masa menunggu dua tahunan.

    Pada tahun 1990-an seiring dengan munculnya gallery-gallery, space dan ruang seni rupa di Jakarta maupun di kota-kota besar lainnya, peristiwa Binalle Seni Lukis, muncul berbagai-bagai ragam dan kepentingannya seperti Binalle Yogja, CP-Binalle, Treinal Seni Patung Jakarta, Festival Kesenian Jogja, Trienalle Denpasar, Trienalle Seni Grafis Indonesia, Binalle Jawa Timur atau bahkan Binalle Bali.

    Dari beberapa peristiwa di tingkat Internasional dan Nasional diatas , dapat disarikan bahwa Binalle, pada intinya adalah peristiwa perhelatan seni rupa dengan system kuratorial yang relative selektif sesuai dengan visi, misi dan kepentingan masing-masing penyelenggara. Pada hakekatnya Binalle menjadi penting bagi perupa, karena seperti dikatakan Moctar Lubis dalam Katalog Binalle XI tahun 1998 di Jakarta bahwa, bangsa yang besar adalah bangsa yang dapat menghargai karya putra-putri bangsa itu sendiri. Dan perlu dicatat disini, keikutsertaan para perupa Solo dalam Binalle Nasional, tidak begitu banyak alias dapat dihitung dengan jari, bila dibanding dengan peserta dari Surabaya, Bandung, Yogjakarta atau Jakarta sendiri.

    Siapkah Solo mengadakan Binalle Seni Rupa?

    Setelah sepuluhan tahun berlalu, Solo tidak diperhitungkan lagi dikancah binalle di tingkat nasional. Sepuluhan tahun perupa Solo tidur. Dan, sepuluhan tahun pula perupa Solo mandul. Merebaknya kegiatan Binalle daerah ( Yogja, Surabaya, Bandung dan Jakarta ), tidak menggemingkan para perupa Solo. Dan tentang kemungkinan Binalle Solo kedepan, pernah saya diskusikan dengan pengelola Galery Seni Rupa TBS beberapa waktu yang lalu, dalam diskusi yang bersifat ngalor ngidul itu, akhirnya disimpulkan bahwa Solo belum layak menyelenggarakan Binalle. Karena, bila Binalle tetap akan dilaksanakan di Solo, yang dirugikan adalah para perupa pinggiran, sementara “pemenang” Binalle paling ya itu-itu saja. Kesimpulan sementara dalam diskusi kecil di ruang lobby Galery Seni Rupa TBS tersebut, masih menjadi catatan besar hati saya antara mungkin atau ketidak mungkinannya diselenggarakan Binalle Seni Rupa Solo.

    Kemudian saya menghubungi Mikke Susanto, dalam wawancara imajiner dengan penulis yang didasarkan bukunya yang berjudul “ Menimbang Ruang Menata Rupa” Galang Pers, September 2004. Mikke mengatakan bahwa Pameran Besar atau Binalle, sebenarnya dapat diselenggarakan dimana saja termasuk di Solo, asalkan Binalle tersebut memiliki karakter. Pameran atau Binalle yang berkarakter, ialah pameran yang melibatkan sejumlah perupa secara pribadi atau kelompok, sesuai dengan waktu yang disepakati, tema yang diusung, jenis karya, ruang, tempat, kehendak pelaku ( perupa ,manajer, curator, sponsor, art dealer ), peta kepentingan, peta histories, peta geografis dan yang tidak kalah penting adalah studi kelayakan dan kedalaman riset tentang mungkin dan tidaknya Binalle diadakan wong Solo, misalnya.

    Mikke juga menambahkan, bahwa penyelenggaraan Binalle seharusnya juga memperhatikan struktur lokasi yang menjadi proyek binalle atau pameran secara specific, konteks keseharian kehidupan seniman rupa di area tersebut, skala kecenderungan atau arah tujuan pameran, dan mobilitas yang besar dari para pengemban misi binalle. Salah satu contoh adalah suksesnya penyelenggaraan CP-Binalle 2005 dalam ‘Urban Culture’ di Jakarta beberapa tahun yang lalu. Dan diikuti beberapa Binalle seperti Binalle Yogja dalam ‘Neo-Nation’ misalnya, walau ada beberapa cacat dalam hal misi dan visinya, namun diakui atau tidak penyelenggaraan tersebut terbilang berhasil.

    Tentang Binalle Solo, dilain waktu Bonyong Munni Ardhie, mengatakan bahwa Solo belum saatnya Binalle, karena kepedulian dan perhatian dari pemerintah setempat belum nampak, institusi seni seperti UNS Seni Murni, UNS FKIP Seni Rupa, ISI belum ada “grengseng” mengarah kesana. Juga mungkin kesiapan dan keberadaan para perupanya, cenderung masih tercecer-cecer belum saling membutuhkan dan belum bisa bersatu untuk pekerjaan besar seperti Binalle, misalnya. Selain itu komunitas perupa di Solo belum dapat bekerja secara maksimal; pameran saja masih temporal, pemfokusan tema yang diangkat belum menyiratkan isu-isu daerah Solo dan apalagi Nasional, perjalanan pemikiran para perupa belum mengarah pada gerakan yang spesifik. Ada beberapa perupa yang menjaring dengan Jogja, tetapi belum menyentuh pada masalah yang sebenarnya di Solo. Pada intinya masih tertinggal jauh dengan perjalanan dan percepatan dengan kota besar lainnya. Solo memerlukan waktu 10 sampai dengan 20 tahun untuk mewujudkan Solo sebagai kota seni rupa, dengan segala insfrastrukturnya dan kegiatannya.

    Sudjud Dartanto, salah satu curator Binalle Yogja IX “ Neo-Nation”, yang juga dosen FSRD ISI Yogya menulis, bahwa usaha memajukan seni rupa melalui penyelenggaraan Binalle, sebenarnya di dorong oleh kebutuhan akan status, fungsi dan kedudukan Binalle itu sendiri secara fundamental. Yang fundamental dalam penyelenggaraan Binalle tersebut, antara lain nilai ideal, nilai strategis dan nilai ekonomis. Ketiganya tidak dapat ditinggalkan dari salah satunya, semuanya dominant dan penting. Nilai ideal, merupakan perwujudan sebuah event bergengsi yang menampilkan keragaman prestasi artistic dan kecenderungan estetik pada karya seni, serta strategi pembacaan apa yang perlu dan penting untuk diajukan dalam pencapaian dan fenomena estetik yang terjadi.

    Sedang pada nilai strategis, terletak pada tema yang diusung. Tema merupakan akumulasi dari pergeseran, perubahan, dan perkembangan dunia sosial budaya dimana para seniman bekerja dan didalam medan seni itu sendiri. Juga perlu memerhatikan perancangan tema, dengan tema yang menarik, praktis akan memicu pencapaian karya seni yang menggambarkan “perspektif masa depan” bagi senimannya . Pada nilai yang ketiga, yaitu nilai ekonomis, juga amat sangat memegang peranan penting. Tetapi, walau dana tercukupi tanpa adanya dua nilai diatas, rasanya mustahil dilaksanakan dengan baik. Jadi, penyelenggaraan Binalle tersebut mendapat perhatian dari masyarakat seni, pasar dan kepentingan komersial lainnya, bila seluruh warga kota, wilayah dan pemerintah setempat ikut serta mengambil bagian dan berperan aktif atas peristiwa Binalle tersebut, bukan tidak mungkin penyelenggaraan Binalle akan menuai sukses dan berlanjut sebagai kebutuhan masyarakat tersebut. Ketika Binalle, sudah menjadi pengalaman naratif bagi seluruh warga masyarakat dan para pelancong seni rupa. Maka model representasi itulah yang akan menjadi pedoman untuk Binalle selanjutnya.

    Lorenzo Rudolf, Fair Director Shanghai Contemporary, dalam diskusi tentang masa depan seni rupa kontemporer di Asia, Asia disini sudah barang tentu termasuk didalamnya Solo kedepan ( tambahan pen.) yang diselenggarakan di rumah kolektor Dedy Kusuma, beberapa waktu lalu, yang termuat di koran Kompas (31 Agustus 2008 ). Lorenzo mengatakan bahwa, seiring menguatnya ekonomi dibeberapa Negara Asia, serta liberisasi sosial dalam berbagai bidang termasuk seni, di kota-kota besar di Asia akan terjadi perputaran kesenian yang hebat, dan sepanjang setiap event ( Binalle : pen ) asalkan di platform yang jelas, akan menjadi ajang kompetisi yang sehat dan professional. Untuk itu seniman harus dapat bekerjasama dengan siapapun termasuk sponsor dan gallery. Kiblat seni rupa akan berubah arah ke Asia.

    Optimisme yang dikatakan Lorenzo, menjadikan pekerjaan rumah ( PR ) untuk Solo dan sekitarnya, tantangan yang berat masih menghadang kita. Mungkin di Solo kedepan perlu “mencetak”creator, konseptor,curator, sponsor yang dapat “menghidupkan” Solo pada beberapa tahun kedepan.

    Menggerakkan Solo menuju Binalle dengan Pameran Pra Binalle.

    Adalah Samuel Indratmo, yang sempat melontarkan gagasan kepada teman-teman Kamar WC saat bertemu di Yogya, waktu itu teman-teman Solo bertandang ke Jogja untuk mengajak perupa Jogja dalam acara performant art dibeberapa tempat di Solo, yang salah satunya dilakukan di depan Gelora Manahan Solo. Samuel Indratmo lewat informasi Susiawan Haryanto mengatakan dengan menegaskan, agar teman-teman Solo dapat segera mengadakan Binalle Solo, dengan mengawali pameran Pra Binalle, dengan support dan spirit dari sebagian para perupa di Yogja.

    Lontaran Samuel, cukup menarik dan menjadi renungan spontan teman-teman, termasuk saya. Pameran Pra Binalle, menurut saya cukup menarik dan ideal, minimal merupakan ajang membaca wacana seni rupa di Solo kedepan. Kemudian siapa yang akan memulai pekerjaan yang penuh tantangan ini? Tentu tidak mudah dan tidak segampang yang kita bayangkan.

    Menurut pendapat saya , pada prinsipnya perhelatan yang besar sejenis Binalle atau Pra Binalle dapat dilaksanakan dengan baik di Solo, asalkan penggerak seni rupa dari kalangan manapun, secara serius memperhatikan beberapa hal dibawah ini, antara lain :

    Pertama, Solo perlu curator. Mikke menulis bahwa, seorang curator, adalah orang yang bekerja pada lembaga atau institusi tertentu yang memiliki keahlian dalam bidang spesialisasi tertentu. Pekerjaan pengkurasian dimulai dengan kelihaian menjelaskan, menerangkan, membuat katalogisasi, menganalisis, memamerkan, dan memelihara karya dengan mendokumentasikannya untuk kepentingan public dan penelitian. Pendokumentasian dan mempublikasikan merupakan pekerjaan utama bagi seorang curator. Profesi curator dinegara-negara maju cukup mendapat perhatian besar. Di Solo, dapat dipahami bersama bahwa belum adanya pekerja kurasi ini secara profesional, apalagi dengan menyandang gelar ahli kurasi dari lulusan dengan jenjang pendidikan sarjana atau master yang relevan. Di Solo, memang belum terbentuk tradisi pengkurasian karya. Ini menjadi pekerjaan bagi institusi seni di Solo, seperti ISI dan Seni Rupa Murni UNS. Bila di Solo telah lahir sarjana – sarjana ahli dalam bidang pengkurasian, tentu para calon curator ini akan bekerja professional, mencari obyek pendokumentasian dan pernik-perniknya dengan penuh dedikasi dan bertanggungjawab, demi memajukan seni rupa di Solo. Tuntutan ini menarik, sebab maju dan tidaknya kesenirupaan, disamping dari kreatornya, tidak kalah penting adalah juga para kuratornya. Kita sama-sama menunggu tokoh yang di Solo “terbiasa” mengkurasi karya seni rupa secara independent, semacam Putut H.Pramono, Narsen Afatara, Arfial Arsad Hakim, I.Gusti Nengah Nurata, Bonyong Munni Ardhie, Soni Kartika Darsono, Cahyo Prabowo atau yang lebih muda seperti Satriana Didik, Gigih Wiyono, Moch.Sofyan Zarkasi, Nanang Yulianto dan sebagainya.

    Kedua, Solo butuh kritikus seni rupa. Kitapun paham, bahwa bidang keahlian dalam hal kritik seni, di Indonesia terbilang langka. Apalagi bidang ini, dari sisi komersial kurang menjanjikan. Kita pernah memiliki satu-satunya kritikus seni rupa yang handal, Sanento Yuliman almarhum. Dibawah Sanento Yuliman ada juga seperti; Jim Supangkat, Agus Dermawan T, Sudjoko, MamanNoor, Jean Couteau, dan sebagainya. Di Solo tradisi menulis kritik seni belum terbentuk dengan baik, ada beberapa seperti HB Sutopo, Narsen Afatara, I.Gusti Nengah Nurata , Agus Nor Setiawan, Bonyong Munni Ardhie, Andrik Purwasito, Cahyo Prabowo, Arfial Arsad Hakim, tetapi belum begitu intens dalam bidang yang memang hanya ladang “kering kerontang”.

    Ketiga, Solo kekurangan sponsor. Sponsor atau fundraising, sebenarnya bisa berbentuk uang, dukungan pemikiran, tenaga, pinjaman tempat, dan fasilitas. Berbagai sumber dana dapat diupayakan melalui komunikasi dengan : perusahan-perusahaan, sponsorship personal, Negara atau pemerintah setempat, donator ( hibbah ) dari Negara lain, atau Yayasan, Lembaga dan Organisasi yang peduli dengan seni rupa baik yang berada di dalam negeri ataupun luar negeri. Di Solo, bertahun-tahun para sponsorship ini sebenarnya sedikit banyak telah membantu penyelenggaraan pameran dengan dana, fasilitas yang seadanya, tetapi jalan dengan baik. Misalnya, sumbangan dan fasilitas TBS, dinas pariwisata, pemerintah kodya , percetakan-percetakan, perusahaan swasta cukup membantu.

    Keempat, Perupa Solo perlu merencanakan anggaran matang. Sebuah pameran yang besar atau semi besar memerlukan pematangan dalam merencanakan anggaran yang dibutuhkan, secara limit dan professional. Tanpa perencanaan anggaran yang matang ; jujur, terbuka, professional. Maka dilapangan, akan terjadi kesemrawutan, uyak-uyuk, tidak terbuka, tidak effisien dan cenderung menguap diudara, dengan tanpa laporan secara terinci dan pertangggungjawaban. Perencanaan keuangan yang tidak matang, akan melahirkan sesuatu yang setengah-setengah.

    Kelima, Solo butuh pekerja seni yang handal dalam hal kepanitiaan. Panitia yang terdiri dari Pelindung, Penasehat, Ketua, Sekretaris, Bendahara dan Seksi-seksi merupakan kumpulan orang-orang yang memiliki cita-cita bersama untuk mencapai satu tujuan. Kepanitiaan yang cerdas, ulet, jeli, rapi, tahan banting, ikhlas, jujur, menjaga kebersamaan, siap tempur disegala waktu, tidak malas, peduli, gembira, kompak, terbuka akan melahirkan dan menciptakan Tim yang handal dan professional dan mengagumkan.

    Keenam,keterlibatan media di Solo belum maksimal. Media dalam hal ini adalah pers dan media elektronika. Pers yang membantu kesenian dengan membuka ruang seni rupa, baik untuk artikel, dokumentasi foto dari sebuah peristiwa seni rupa, ulasan dan komentar, kritik seni, wacana pembacaan seni rupa merupakan sesuatu yang penting juga. Keberadaan pers di Solo, seperti Kompas Solo-Jogja, Suara Merdeka, Solo Pos, Joglo Semar, Wawasan, Jawa Pos cukup menciptakan “oase” seni rupa di Solo, dengan penyediaan ruang atau rubric pergelaran seni misalnya. Cuma khusus seni rupa, ketersediaan ruangannya sangat terbatas. Untuk media Elektronika; TA TV cukup baik dalam menayangkan peristiwa seni rupa, walau belum adanya ulasan dan komentar yang memadai.

    Ketujuh, Solo perlu tim usaha mendirektori para perupa di Jawa Tengah khususnya, Jawa Timur, Jawa Barat, Jakarta, bahkan kalau perlu perupa luar Jawa. Mencatat nama-nama perupa yang masih berkarya dan masih seringnya berpameran ditingkat local dan nasional, merupakan upaya untuk mendokumentasikan mereka. Yang pada saatnya, dapat diundang untuk terlibat dalam perhelatan Pameran Pra Binalle. Usaha ini cukup sulit, tetapi dengan melacak katalogus mereka di taman budaya misalnya, mejadikan sarana komunikasi awal untuk secara bersama-sama berkompetisi diajang yang semi besar, tentu dengan kriteria-kriteria yang di program Panitia pameran, bersama dengan curator dan lembaga-lembaga pemerintah.

    Ketujuh hal diatas, menjadi sarana penunjang dalam penyelenggaraan event pameran semi besar, semacam Pameran Pra Binalle misalnya. Saya secara pribadi melihat bahwa, beberapa kaum muda di Solo, telah menunjukkan keprofesionalan dalam menyelenggarakan pameran-pameran, walau pameran yang masih bertaraf dan bersifat local. Tetapi, bila dibakar, dikompori, diberdayakan para kaum muda, tentu akan memperlihatkan kemampuannya dengan total. Artinya, seandainya mulai saat ini penggagasan Pameran Pra Binnale sebagai alternative dan batu loncatan untuk menuju Binalle mulai digulirkan dan diwacanakan dengan sungguh-sungguh, bukan sesuatu yang mustahil untuk diselenggarakan. Lontaran Samuel Indratmo sangat mungkin akan menjadi kenyataan.

    Akhir Wacana

    Pemikiran tentang Binalle Solo, mungkin hari ini diketawakan orang – sebab potensi, daya hidup seni rupa, energi kreatif para perupa, yayasan seni rupa, curator, kolektor, sponsor masyarakat pendukungnya, pihak pemerintah, warga kota, image atau kesan teman-teman diluar Solo mungkin Solo dianggap diluar skets kegiatan mereka dan sebagainya. Ya, Solo dalam bidang seni rupa memang belum maksimal. Mungkin tulisan tentang Binalle Solo inipun dianggap ngayawara, kurang waras, mimpi besar tenaga kurang alias jarkoni : kakehan ujar ning gak bisa nglakoni dan sebagainya. Tetapi pada saatnya Binalle sangat mungkin dilaksanakan di Solo.

    Disatu pihak memang seperti gambaran diatas, di pihak lain pameran seni rupa yang diadakan di Solo ( TBS ), tetap ada “gesah positif”oleh teman-teman di luar Solo dan sampai saat ini pameran teman diluar Solo tetap mengalir. Lalu, untuk kegiatan Solo sendiri, mengapa mengalami kemunduran dan stagnan? Mungkin jawabannya tersimpulkan sebagai berikut :

    a. selama ini perupa Solo berjalan sendiri-sendiri, kurang berkomunikasi, kurang terbuka, dalam pembacaan Solo kedepan. Sementara para praktisi akademik, seakan tenggelam dengan aktivitas kampusnya masing-masing, sehingga disibukkan, menyibukkan diri dengan kegiatan kedalam.

    b. mungkin para perupa Solo, sedang mencari format yang tepat, untuk menghidupkan kotanya, atau bahkan mungkin sebagian perupa sudah pindah profesi lain yang lebih menjanjikan, ketimbang bersakit-sakit dengan derita selamanya di wilayah seni rupa.

    c. mungkin juga banyaknya perupa Solo yang hijrah diam-diam ke kota besar, seperti Jakarta, Jogja untuk mengadu dan mengundi “nasib” mereka, agar masa depan mereka meningkat secara material, sementara di Solo para pejabat pemerintah, anggota DPR, pengusaha, keluarga kraton, tidak ada yang mencoba membeli karya-karya mereka sebagai investasi, menjaga gengsi atau sekedar apresiasi.

    d. tidak adanya maezenas ( impresario ) asal Solo yang sukses dikota-kota besar, untuk menggerakkan kota muasal mereka dengan mengangkat dunia perupaan yang digelar di Solo.

    e. factor ekonomi, alam lingkungan atau factor kecerdasan berbisniz warga Solo, belum saatnya berpikir tentang “ bisniz” lukisan dan mendorong kegiatan para perupa, seperti binalle.

    f. atau, memang Solo mungkin masih malu-malu berkompetisi dengan kota lain, dalam hal mencari dan mencuri peluang bisniz kreasi lewat seni rupa, seperti Bandung Creative City Forum, Malang, Magelang dan lain sebagainya.

    Inilah “kenyataan” wolak waliking jaman, atau jaman itu sendiri akan melahirkan irama kehidupan sendiri-sendiri. Tetapi, usaha dan usaha tetap diperlukan asalkan diselenggarakan dengan kejujuran. Bukankah kejujuran itu merupakan energi besar dalam berkesenian dalam hal ini seni rupa. Inilah renungan kita, sebelum melangkah untuk berbinal - binal ria atau jangan-jangan kita tidak “binal” seperti kuda.

    MENJADIKAN SOLO SEBAGAI TUJUAN WISATA SENI RUPA


    Pra Wacana

    Sejak zaman sebelum perang kemerdekaan, Solo sebenarnya memiliki sensualitas dan daya tarik atau ‘pleasure’ sebagai pusat wisata seni budaya. Kota yang terletak dibagian tenggara Propinsi Jawa Tengah ini, memiliki citra wisatanya melalui gambaran romantis tentang wanitanya, dalam sebuah lagu legendaris yang pengarangnya tidak diketahui pasti, lagu tersebut berjudul putri Solo, untaian syairnya demikian : putri Solo dasare kepara nyata, pancen pinter alelewa dasar putri Solo, nganggo selendang pelangi, sumampir ana pundhake, cunduke kembang melati, dadi lan pantese, lakune kaya macan luwe, sandal jinjit penganggone, ciyet – ciyet swarane, kerlap-kerlip berliane, dasar putri Solo, putri Solo yen ngguyu dhekik pipine, ireng manis kulitane, dasar putri Solo. Citra romantis atas kota Solo dengan putri Solonya, merupakan paduan misteri yang dibungkus dengan imajinasi indah dan menyatu dalam dunia pariwisata kota pinggiran sungai terpanjang di Jawa, Bengawan Solo ( Ardus, 1996 ).Perlu diketahui di dunia pariwisata wanita memiliki peran dan nilai tersendiri. Gambaran syair dalam lagu diatas, benar tidaknya tidak ada yang tahu, tetapi yang jelas Solo telah lama menjadi salah satu tujuan wisata, daya pikat lain karena Solo memiliki sebuah keraton, dengan nama lengkapnya keraton Surakarta Hadiningrat. Tidak boleh dilupakan Solo juga mempunyai sebuah pura Mangkunegaran yang sampai saat juga masih menyedot perhatian masyarakat negeri ini khususnya dan mancanegara pada umumnya.

    Kota Solo yang terletak di tepi bengawan, dibangun sejak 17 Pebruari 1745 dan menjadi pusat pemerintahan kerajaan, dengan wilayahnya sebagian besar propinsi Jawa Tengah dan sebagian Jawa Timur sekarang ini. Solo merupakan wilayah agraris – mistis, yang memiliki “aura” kharismatik yang masih dihormati masyarakat luas diluar Solo ( Ardus : 2006 ). Solo memiliki segala macam produk budaya, adat-istiadat,bahasa ( Jawa ), sastra, seni karawitan, seni rupa, kuliner dan produk budaya rumahan seperti batik, keris, wayang kulit, kerajinan kuningan / tembaga dan sebagainya. Selain itu Solo juga mencitrakan diri sebagai Negari Gung, artinya Solo dengan produk budayanya dianggap menjadi negeri (kota) pusat penciptaan seni budaya besar atau agung. Beberapa produk budaya seni tari dan pedalangan, misalnya Solo menjadi panutan bagi produk budaya wilayah dibawahnya, seperti Sragen, Wonogiri, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Banyumas, Pati dan sebagainya.

    Kota Solo, memang sejak lama memiliki beragam asset wisata dan mengantongi “cap paten” sebagai kota pelesiran atau pariwisata, pada masa lalu siapapun yang datang ke kota Solo dipastikan tidak akan melupakan Kebon Raja, Taman Sri Wedari, Taman Balekambang, pemancingan Langenharjo tepi Bengawan Solo ataupun sekedar menikmati alun-alun Lor, sambil menanti sembahyang Dzuhur di masjid Agung denga santai untuk “nglelipur jiwa”. Pada malam hari bersama semilir angin dingin hembusan sungai Bengawan dapat melanjutkan untuk menikmati indahnya kota Solo, dengan melihat pertunjukan wayang orang Sri Wedari, nonton film di bioskop Soboharsono, mengitari kraton pada malam hari khususnya malam satu Suro, sambil sekali-kali mengudap wedang jahe, nasi liwet dan jenang lemu, dengan hati nyaman dan seger sumyah.

    Solo beranjak menjadi kota mikropolitan

    Setengah abad kemudian, kota yang memiliki luas 44 km2 ini banyak mengalami perubahan. Penduduknya meledak mendekati jutaan jiwa, pada siang hari penduduknya bertambah menjadi sekitar dua jutaan, dengan masuknya para pekerja dari luar Solo, untuk mengadu nasib, mencari nafkah di Solo. Solo, telah menjadi kota “mikropolitan”, dengan mengakibatkan sebagian kultur khasnya sedikit demi sedikit hilang terkikis oleh kemajuan zaman. Perkotaan Solo melebar sampai wilayah kabupaten yang mengitarinya. Solo, kotanya telah bergandengan tangan tanpa batas dengan Sragen, Karanganyar, Boyolali, Klaten, Sukaharjo dan Wonogiri. Percepatan modernisasi kota Solo lengkap sudah dengan berdirinya pusat –pusat pertokoan modern, pasar swalayan, mall, bank-bank, square, hotel berbintang dengan cita rasa metropolitan. Solo telah dipenuhi pabrik-pabrik, seperti pabrik tekstil, pengolahan kayu lapis, mebel, karung plastic, sepatu dan sebagainya ( Ardus : 2006 ).

    Seperti layaknya kota besar Solo juga membangun “bisnis” pendidikan secara besar-besaran, kampus-kampus megah kokoh berdiri, sebut misalnya Universitas Negeri Sebelas Maret, Universitas Muhammadiyah Surakarta, Institut Seni Indonesia, Sekolah Tinggi Agama Islam Negeri, Universitas Islam Batik, Universitas Tunas Pembangunan, Akademi Teknik Mesin Warga, Akademi Bahasa Asing St.Pignatelli dan lain-lainnya telah menghantarkan Solo menjadi kota yang benar-benar modern.

    Kemajuan atau kemodernan kota Solo, memang menjadi tantangan dan sekaligus menjadi peluang kepada siapa saja untuk bersama-sama mengembangkan Solo, dengan tujuan jangka panjangnya Solo benar-benar “dipercaya” para wisatawan atau para pelancong, untuk suntuk menikmati seni dan budayanya dengan mengesankan.

    Kemodernan kota Solo dewasa ini beranjak maju pesat dibawah kendali pimpinan tangan dingin walikota Solo yang memang peduli terhadap kemajuan dan kemodernan, dengan tetap tidak melupakan kekayaan nilai-nilai tradisi dan budaya asli Solo. Beberapa pusat-pusat budaya direnovasi dan dihidupkan kembali, misalnya dengan menggugah beteng Vaternburgh dari tidurnya, memanjakan pusat barang antik di pasar Tri Windu, jalan santai pusat barang klithikan di Sangkrah, berleha-leha di taman Sri Wedari, wisata ndeso di Pasar Ngarsopuro, ramahnya penjual Kampung Batik Laweyan, menjajakan benda-benda seni disepanjang City Walk di jalan Slamet Riyadi dan sebagainya. Dalam menghidupkan dan perenovasian Solo didasarkan dengan tetap memelihara nilai-nilai tradisi, menjadi poin positif bagi wali kota Solo, untuk menggaet orang agar datang ke Solo dengan kekhasannya.

    Perubahan terpenting di kota Solo yang lain dewasa ini, adalah bergesernya pusat budaya yang bernama Taman Budaya Jawa Tengah, yang kebetulan berada di Solo. Memasuki tahun 2008 , secara resmi Taman Budaya menggabungkan dirinya dibawah naungan Departemen Kebudayaan dan Pariwisata setelah 25 tahunan bernaung dibawah Departemen Pendidikan dan Kebudayaan. Bergabungnya Taman Budaya Surakarta dibawah Departemen Kebudayaan dan Pariwisata, menjadi menarik untuk dikaji lebih lanjut, karena peran Taman Budaya akan menjadi lebih luas dan melebar kedalam sendi-sendi “ kepentingan“ kepariwisataan dan kebudayaan ( seni rupa, seni tari, musik, teater, pedalangan, sastra, karawitan ) sekaligus untuk mengejar ketertinggalan Solo dengan kota lain. Disamping itu pihak Departemen Pariwisata sendiri juga diuntungkan, karena akan mengetahui secara nyata kiprah para seniman, yang telah “ digarap” oleh Taman Budaya selama ini. Selain itu juga akan mengerti kepentingan seniman dilapangan kesenian, ketika suatu saat akan berdialog , menggarap dan memasuki wilayah, dimana “denyut konsep dan idealisme para seniman” itu terbentuk. Bersama pemerintah kota, sudah semestinya Departemen Pariwisata dapat “memberikan suntikan darah dan mengambil darah” kepada Taman Budaya yang selama ini “memayungi” para creator, seniman, budayawan, pekerja seni dapat di Solo khususnya dan Jawa Tengah pada umumnya.

    Menurut pandangan penulis, bahwa selama ini para creator seni rupa hanya bekerja sesuai dengan perannya, yaitu berkarya dan berkarya. Sementara dari pihak yang berkompeten dalam memajukan wisata seni rupa di Solo, juga belum terjadi komunikasi yang baik, semua jalan sendiri-sendiri. Dapat dibayangkan, kalau tidak ada dialog dan komunikasi dengan “ikon-ikon seni rupa Solo” tersebut, tentu perkembangan seni rupa Solo, akan tertinggal dengan kota lain. Maka dengan beralihnya Taman Budaya dibawah naungan Departemen Pariwisata, diharapkan terjadi sinergi antara keduanya, agar tercipta kondisi saling menguntungkan. Peluang Departemen Pariwisata, untuk mendekati seniman, sebagai pencipta produk perlu dimulai, dengan tetap memelihara kebebasan dan kemerdekaan berkreasi, seperti yang sudah berjalan selama ini. Khususnya pengelolaan kesenirupaan modern, memang belum menjadi perhatian oleh pemerintah kota. Hal inilah yang menjadi bahan perenungan dan pemikiran bagi pemerintah kota, bekerjasama dengan dinas pariwisata dengan “tangan panjangnya” yaitu Taman Budaya Surakarta.

    Wisata Seni Rupa Solo, potensial tetapi belum tersentuh

    Sejarah telah mencatat, boleh percaya boleh tidak, bahwa munculnya banyak gerakan kesenirupaan di Indonesia sebenarnya berawal dari Solo, sebut misalnya mulai dari nama besar S. Sudjojono, Zaini, Soedibjo, Sudjono Kerton, Trubus, Surono, Affandi, Nashar, Basuki Resobowo, Sunindyo, Soemardjo, Suromo, Moh.Sahid, Sasongko, Rusli, Kirnadi, S. Wakijan, Nasyah Djamin, Suharto, Suparto, Sudiardjo, Nurnaningsih Yudhokusumo, Agus Djaya, S. Sundoro, Sediyono, Harjadi, Sudarso, Syahri, Kartono Yudokusumo, Abdul Salam, Dullah sampai dengan generasi dibawahnya sebutlah seperti Sri Hadi Sudarsono, Jeihan Sukmantoro, Mulyadi.W., Sri Warso Wahono, AS Budiono, Hadjar Satoto, Bonyong Munni Ardhi, Putut. H. Pramono, Citro Waluyo, Gunawan Hanjaya, titik keberangkatan mereka memang dari Solo. Solo pada masa lalu sampai saat ini telah berhasil “melahirkan” perupa-perupa besar dan memenuhi catatan sejarah dan nilai-nilai historisnya, sehingga menarik untuk dijadikan pekerjaan rumah yang besar dan menarik bagi dunia kepariwisataan di Solo. Sementara wilayah seni yang lain, diluar seni rupa Solo telah melahirkan dan membesarkan seniman dan budayawan besar dengan tingkat pencitraan touristiknya yang luar biasa di Indonesia dan dunia, sebut saja sebagai contoh mulai dari S. Waridi, Rahayu Supanggah, Anom Suroto, Retno Maruti, Sardono.W. Kusumo, Rendra, Suprapto Suryo Darmo, Danarto, Gesang Marto Hartono, Waljinah dan sebagainya.

    Para seniman dan budayawan yang lahir dan dibesarkan Solo tersebut, telah berbuat banyak untuk dunia, sementara kota yang melahirkan dan membesarkan mereka, belum sempat memikirkan nilai luhur karya-karya besar mereka untuk dijadikan karya bersejarah yang penting untuk cermin bagi berlangsung dan berkembangnya kesenian di Solo, misalnya museum seni. Sementara di kota-kota besar lainnya, seperti Jakarta, Bandung, Yogjakarta, Semarang, Magelang, Surabaya kotanya telah memberikan “rumah yang sejuk” bagi para senimannya, mereka dibuatkan oase untuk membangun museum-museum, gallery, rumah seni, padepokan, art space. Para seniman ramai-ramai berpulang kekandangnya, setelah sekian puluh tahun hijrah dari kota yang melahirkan mereka, mereka hormati kota kelahirannya, ingin memajukan dan berkomunikasi dengan angkatan dibawahnya. Hal ini sangat lumrah dan mulia, karena kepulangan mereka tidak membawa tangan kosong, tetapi telah mengantongi segudang pengalaman untuk ditebarkan kepada siapapun yang datang di rumah-rumah mereka.

    Wisata bersama “ikon” seni rupa Solo itu perlu

    Sekali lagi khusus di dunia kesenirupaan, Solo memang ketinggalan kereta. Uluran dan dialog dari pemerintah kota kepada para empu seni rupa, belum terjalin dan belum terpikirkan. Hal itu dapat dilihat kenyataan yang sebenarnya, sebagai contoh Solo mempunyai perupa besar nasional yang telah pulang kandang dan mendirikan sebuah museum yang cukup representatif, misalnya Musem Dullah. Museum yang didirikan Dullah sekitar tahun 90-an sampai mati dan tutupnya Museum pada saat ini, pemerintah kota dan dinas pariwisata, belum melihat dengan serius untuk ikut memikirkan keberadaan Museum tersebut. Pada hal sudah seharusnya, diminta atau tidak diminta pihak pemerintah kota dan dinas pariwisatanya memiliki kewajiban untuk ikut terjun dan merespon positif adanya Museum Dullah tersebut, sebagai asset wisata seni rupa yang menarik di kota ini. Keberadaan Museum Dullah yang sampai saat ini masih tutup dan belum dibuka kembali, menjadi “tengara” bahwa kepedulian pemerintah Solo, Departemen Pariwisata dirasa sangat kurang perhatianya, terhadap “ikon aliran realisme seni rupa” yang kebetulan pulang kandang ke Solo, yang bertahun-tahun bermukim di istana Negara, pada masa kekuasaan Bung Karno. Bila hal ini dibiarkan terus menerus, maka karya-karya maestro realis Indonesia tersebut, akan rusak oleh waktu, dan sungguh ironis serta menyedihkan.

    Solo juga pernah mempunyai perupa tradisional yang karya-karyanya menarik dan cocok untuk kelengkapan dunia wisata khas Solo, pelukis itu bernama Citro Waluyo. Citro Waluyo adalah nama besar bagi pencitraan seni rupa tradisi di Solo dengan karya pemandangan dan aneka legenda rakyat, misalnya tentang : pesugihan kandang bubrah,nyi Blorong, yuyu kangkang, ande-ande lumut dan sebagainya. Sementara saat ini anehnya hampir seluruh karya Citro Waluyo yang unik itu, dirumah sederhana di Mijipinilihan, Joyopakan RT.02/RT.01 Solo tidak tertinggal dan tidak ditemukan satupun karyanya- karya, kecuali gambar pemandangan dan lukisan legenda tentang Joko Tarub (Hermanu: 2006 ). Sebagian besar disimpan dan dikoleksi oleh salah seorang pengagum Citro Waluyo di Yogjakarta. Yogjakarta akhirnya berinisiatif untuk “ngukup dan ngopeni” karya-karya besar Citro Waluyo tersebut, kalau tidak keliru ditangan Buldanul Khuri, Bentara Budaya, dan atas uluran hati baik dan kreatifnya Prof.Dr.umar Kayam, almarhum. Sementara warga Solo tidak satupun yang memiliki koleksi karya Citro Waluyo tersebut, kecuali satu dua karya yang ada di Taman Budaya Surakarta.

    Tokoh lain yang tidak kalah penting dari contoh-contoh diatas adalah nama besar AS Budiono. AS Budiono, satu-satunya sebagai perupa abstrak yang setia, AS Budiono telah mengabdikan dirinya kepada seni rupa sepanjang hidupnya. Di Solo satu-satunya pelukis yang secara total memilih jenis aliran abtraksionisme sampai akhir hayatnya hanya dia. Karya-karya Om Cong ( demikian panggilannya ) menjadi karya fenomenal yang tidak terhempas oleh angin dan waktu. Sampai kini karyanya masih tersimpan rapi, di bilangan Pasar Gedhe.

    Selain nama diatas, tokoh potensial yang lengkap dengan seni rupa touristic di Solo adalah Hajar Satoto perupa serba bisa dengan spirit dan nilai-nilai tradisi yang digelutinya, akan menambah “kekayaan seni rupa Solo” sebagai kota budaya dan pariwisata dengan tiada tara. Hajar Satoto secara fenomenal pernah membuat gamelan pamor yang dihadiahkan keraton Surakarta.

    Pelukis lain yang sekarang menetap di Solo lahir di Surabaya, pensiunan dosen ISI Solo adalah Bonyong Munni Ardhi. Bonyong seorang tokoh seni rupa kontemporer nasional dan menjadi salah satu pendiri Gerakan Seni Rupa baru Indonesia, juga penting untuk dibicarakan sebagai asset wisata seni rupa di Solo. Bonyong dengan usianya menjelang 70 tahun, tetap eksis dan berkarya di Solo dan di Jakarta. Bonyong telah menjadi “ikon” kota Solo utamanya kalangan anak muda penganut pop art. Ini semua menjadi tugas pihak pemerintah untuk ikut campur menangani pemilik nama besar diatas, dengan mengadakan dialog, mengkomunikasikan, mempublikasikan dan memberikan ulurangan tangan untuk menghidupkan asset –asset wisata seni rupa itu. Itupun kalau memang Solo, menginginkan menjadi kota seni rupa seperti kota-kota lainnya. Nama - nama besar tersebut, hanya sebagai contoh betapa bahwa Solo sebenarnya memiliki kekayaan wisata seni rupa yang menjanjikan, yang sampai saat ini belum tergarap dan tersentuh oleh pihak-pihak yang berkompeten, dalam hal ini pemerintah kota dan dinas pariwisata. Sekali lagi dengan bergabungnya Taman Budaya Surakarta ke Dinas pariwisata, hal-hal diatas sangat mungkin kedepan dapat menjadi garapan, agar Solo bangkit dan tidak ketinggalan dengan kota-kota besar lainnya.

    Sebagai gambaran awal, penulis memberanikan diri untuk “memilih” tokoh-tokoh diatas dibanding perupa lainnya, karena tokoh-tokoh tersebut memiliki kekhasan dalam hal keberagaman aliran, perjalanan kesejarahan dan kesetiaan konsep. Dullah satu-satunya tokoh realisme di Indonesia, Citro Waluyo tokoh seni rupa tradisional , Hajar Satoto setia mengemban seni rupa dekoratif modern, AS Budiyono mewakili tokoh seni rupa modern abstraksionisme dan Bonyong Munni Ardhi mewakili makna pertarungan zaman dengan seni rupa pop art-nya, dengan thema-themanya yang membela kaum petani dan mungkin masih sangat banyak tokoh lain yang dapat ditambah. Pemilihan ke-lima tokoh tersebut , dirasa dapat mewakili ruang dan waktu perjalanan dan perkembangan seni rupa di kota Solo, dari waktu kewaktu. Untuk itu dalam tulisan ini akan dipaparkan sepintas keberadaan para perupa Solo diatas, yang untuk sementara dapat dijadikan studi kelayakan dan pada saatnya dapat menjadi bahan pemikiran untuk nantinya digarap oleh pemerintah kota, sebagai asset wisata seni rupa di Solo kedepan.

    Menghidupkan Wisata Seni Rupa Museum Dullah

    Di atas telah dipaparkan, bahwa Museum Dullah merupakan asset wisata seni rupa yang layak “dijual”. Dullah, lahir di Solo, bulan September 1919 dari seorang keluarga pengusaha batik terpandang di Solo. Dullah pada masanya merupakan tokoh yang ikut menghidupkan organisasi para perupa di Solo dalam wadah SIM ( Seniman Indonesia Muda ) pada tahun empat puluhan. Melalui wadah SIM inilah Dullah, menelorkan ide-idenya dalam bentuk lukisan-lukisan revolusi. Pada saat yang sama rupanya Bung Karno, dalam menggencarkan perang terhadap imperialis Belanda, tidak hanya membutuhkan para pejuang yang memanggul senjata di medan laga, tetapi juga membutuhkan seniman untuk turut berkiprah menggelorakan semangat revolusi dinegeri ini. Gayungpun bersambut, bersama Affandi, S.Sudjoyono, Chairil Anwar dan sebagainya, gerakan seni rupa yang bertemakan revolusi kemerdekaan mendapat sambutan positif dari Bung Karno.

    Dari sinilah Dullah, memulai serius dalam melukis peristiwa peperangan dalam masa-masa revolusi kemerdekaan. Dalam buku karya Dullah Paintings in War and Revolution ( 1983 ), Dullah menulis, bahwa ia pernah mengabadikan peristiwa pemboman kota Yogyakarta, tahun 1948. Bersama istrinya ketika mengungsi di daerah Maguwo, 15km dari kota Yogyakarta. Pada lain waktu Dullah juga mengajak anak-anak disekitar kampung Maguwo, untuk melukis peristiwa tersebut dengan penuh keberanian. Nama anak-anak yang tercatat dalam buku tersebut antara lain; Muhammad Thoha, Muhammad Affandi, FX Supono, Sri Suwarno dan Sarjito. Anak-anak itu diajari Dullah untuk menyaru Belanda dengan pura-pura sebagai penjual rokok dengan kotak atau koper yang sebenarnya berisi kertas, pensil, cat dan sebagainya. Tujuannya agar anak-anak itu dapat melukis peristiwa peperangan pada titik terdepan. Hasilnya, terbukti luar biasa, karya-karya tersebut benar-benar mencengangkan warga Belanda, ketika dipamerkan di Amsterdam tahun 1985. Bahkan dokumentasi perang yang berujud karya anak-anak tersebut sekarang di asuransikan dari pihak pemerintahan Belanda.

    Dilain waku Bung Karno, juga pernah memanggil Dullah untuk berdiskusi tentang desain burung garuda sebagai symbol Negara. Menurut Bung Karno, bahwa posisi kaki burung garuda yang menghadap kebelakang dirasa kurang enak dilihat, kemudian oleh Dullah posisi kedua kaki garuda tersebut diubah menghadap kedepan, posisi tersebut persis seperti apa yang kita lihat saat ini ( Sudarmadji : 1988 ). Dullah juga memprakarsai untuk membukukan koleksi-koleksi lukisan di istana Negara yang jumlahnya sampai dua ribuan karya. Dari ulasan sekilas tersebut, sudah selayaknya siapapun, khususnya pemerintah kota Solo, Dinas Pariwisata bersama pihak-pihak institusi seni di Solo seperti ISI, UNS untuk kiranya memikirkan keberadaan wisata seni rupa Solo, dengan menghidupkan kembali Museum Dullah.

    Pemugaran Rumah Seni Lukis Tradisi Citro Waluyo

    Yang namanya wisata, apalagi wisata seni rupa tentu perlu disajikan dengan berbagai konsep yang menarik dan beragam, mulai dari yang seni rupa tradisional sampai dengan yang modern. Seni Rupa tradisi, untuk Solo dapat terwakili oleh sosok Citro Waluyo. Ia pandai mengemas legenda dan folklore Jawa menjadi karya seni rupa tradisi sederhana tapi unik dan menggugah. Citro Waluyo menggarap seni lukisnya dengan beberapa tema, antara lain tentang pesugihan yang ada di Jawa, seperti pesugihan Kandang Bubrah, Buto Ijo, dan Nyai Blorong. Kemudian tema keindahan alam di Indonesia dan legenda-legenda rakyat seperti Joko Tarub,Joko Tingkir dan Baru Klinthing. Selain itu Citro Waluyo juga melukis para Nabi, seperti Nabi Sulaiman dan masih banyak lagi ( Hermanu : 2006 ).

    Munculnya seni tradisi yang berkaitan dengan dunia pesugihan oran Jawa, termasuk karya Citro Waluyo merupakan ide dari pihak keraton yang intinya keraton berpikir bagaimana cara mengubah nasib rakyat kecil yang miskin, menjadi kaya raya. Dari pikiran tersebut,konon kabarnya untuk kemudian kraton “bekerja sama “ dengan dunia lain, dengan sebutan pesugihan macam-macam, seperti : Pesugihan Babi Ngepet, Nyi Blorong, Buto Ijo, Kandang Bubrah, Yuyu Kangkang, Bulus Jimbung, Lintah Kadut, Tuyul, Jaran Penoleh, Kethek Mangklong, (Drewes : 2006 ). Selain itu Citro Waluyo juga membuat lukisan Kancil, Baginda Sulaiman, Ande-ande Lumut, Jaka Tarub dan sebagainya ( Hooykaas: 2006 ).

    Ikon Citro Waluyo dengan lukisan tradisionalnya, tentu menjadi tambahan kesan tentang Solo, sebagai kota budaya yang masih “nguri-nguri” mistik relegius. Kalau hal tersebut direalisasikan, dapat diduga bahwa Solo akan kebanjiran wisatawan yang ingin mendalami dunia Jawa.

    Karya-karya Hajar Satoto dan Pamornya

    Hajar Satoto, mulai dikenal oleh kalangan seniman pada tahun 1964-an sebagai penari. Bersama Warsita ( Kecek ), Sal Murgianto, Sardono W.Kusumo, S.Maridi, S.Waridi, Marsudi, Retna Maruti, Sentot.S, Tri Sapto, Martati, Rusini dan sebagainya, Hajar Satoto berkembang sesuai dengan irama hidupnya ( Supanggah : 2006 ). Tahun 1970-an Hajar Satoto beralih kuliah di ISI Yogjakarta,mendalami seni lukis yang juga ditekuninya.

    Gaung karyanya mulai menggema, ketika bersama Suprapto Suryo Darmo membuat seni multimedia di Mendut dalam pergelaran Wayang Budha. Dari proses inilah, Solo memiliki dinamika kreasi yang dapat mengangkat dirinya ditingkat Nasional, bahkan Imternasional. Melalui tangan halus dan kreatif Hajar Satoto, akhirnya ia benar-benar menjadi seniman yang komplit, karya-karyanya berkarakter Jawa “priyayi”, berselera aristocrat, multi bidang dan multi dimensional. Karya-karyanya bernilai estetis dan cultural, serta fungsional ( Supanggah :2006 ).

    Karya wayang wanda baru, patung musical, rebab sungging, keris dan senjata pamor, gamelan pamor menjadikan Hajar Satoto menjadi seniman yang lengkap. Lengkap, karena ia menghayati benar antara “realitas” seni tradisi dan “realitas seni modern. Hajar benar-benar mengalami “metamorfosa” secara alami dengan melalui proses yang panjangnya, ia menemukan solusi kekayaan ( symbol dan elemen ) pada seni tradisi untuk kepentingan seni rupa kontemporer ( Ardus : 2006 ).Solo ataupun Indonesia sangat beruntung, memiliki seniman sekaliber Hajar Satoto. Walaupun pemerintah kota Solo sampai hari ini belum melihatnya. Penulis, berharap bahwa suatu saat Hajar Satoto “diambil” sebagai ikon seni rupa tradisi di Solo, dengan merawat karya-karyanya didalam sebuah “space” yang memadai.

    Studio “Kampung Joso” Bonyong Munni Ardhie

    Sebagai salah satu komponen Gerakan Seni Rupa Baru di tahun 70-an, Bonyong dikenal sebagai seniman pemberontak. Pemberontakannya mengalami puncak kreatif ketika peristiwa “Desember Hitam”nya berbuntut dipecatnya Bonyong dari kampus ISI Yojakarta ( Anusapati : 2004 ). Peristiwa itu pulalah yang sadar atau tidak, telah melejitkan namanya. Umar Kayam Bonyong, sebagai seniman “waton sulaya”. Karya-karyanya radikal dan beraroma sosial politik.

    Tahun 1980-an, Bonyong membesarkan Solo dengan mengajar di ISI Solo. Dengan “keliaran”nya Bonyong membakar, mengompori, menebas leher anak-anak muda di Solo. Ia dekati dan bakar perupa muda komunitas K3S, Sapulidi, dan sebagainya. Disenja umurnya Bonyong, telah menjadi “tempat” yang merdeka bagi siapapun. Solo, seharusnya pandai “menangkap” macan Gampingan ini agar jinak dan mengaumkan semangat dan kreasinya di Solo. Memang, Bonyong diakui atau tidak telah menjadi “ikon” seni rupa modern dan kontemporer Solo. Sayang, kalau tidak dijadikan media wisata seni rupa kita.

    Akhir wacana

    Memahami dunia wisata, tidak harus dikonotasikan dengan hanya pada keramaian, gemerlapan, ataupun kedamaian alam yang indah. Dulu Solo sudah “cukup” dengan Sekaten atau Grebeg Maulud, gemericiknya air bening Bengawan Solo, ombak alun taman Sri Wedari, sunyi mitisnya taman Bale Kambang, Stasiun Balapan, Kebon Raja, Pasar Kembang, Masjid Agung, Tugu Lilin, kampung Batik Laweyan. Setelah Solo ”membangun” Pasar Klewer, Gelora Manahan, Terminal Tirtonadi, menghidupkan Pura Mangkunegaran, kota satelit Solo Baru, taman Jurug, kampus ISI, kampus UNS, Taman Budaya, pasar Legi, Matahari, Solo Scuare, patung Slamet Riyadi, Goro As-Salam dan sebagainya Solo mulai “kehilangan” arah dalam mencitrakan dirinya sebagai kota wisata budaya. Solo hanya mengarah pada wisata “suasana fisik dan material”nya saja, sedangkan arah pencitraan wisata “jiwa ruh”nya tertinggal. Solo kehilangan essensi spirit dinamisnya. Lalu apa kemudian harus mundur ke masa silam? Tidak perlu, hanya mungkin Solo perlu “ruang-ruang seni untuk konsumsi batin dan ruh” yang bernilai touristik semacam padepokan Lemah Putih, Negeri Wayang Suket yang sudah ada. Dan yang mendesak dan memang belum disentuh, adalah sangat perlunya “pendirian ruang-ruang rupa untuk publik” yang membawa pencerahan wisata batin masyarakat Solo dan sekitarnya, seperti yang tertutur dalam pemikiran ini.